Minggu, 17 Mei 2009

Theory of Constraint

Sudah menjadi sebuah keniscayaan, bahwa sebuah sistem pasti mempunyai batasan-batasan tertentu yang tidak bisa dilanggar dengan bebas. Optimalisasi satu elemen dari sebuah sistem, membutuhkan adanya fokus perhatian. Mau tidak mau beberapa elemen lain harus dikurangi atau dikorbankan. Dapat dikatakan bahwa satu elemen menjadi batasan/constraint bagi elemen yang lain. Dalam dunia industri misalnya, ada 3 elemen utama yang membutuhkan pengelolaan secara bijak agar industri tersebut bisa sukses. Ketiga elemen pokok sekaligus juga constraint tersebut adalah Time (Waktu), Cost (Biaya), dan Quality (Mutu, Kualitas).

Sebagai contoh, jika perusahaan menginginkan produk dengan kehandalan dan mutu tinggi, otomatis faktor ketersediaan biaya dan waktu akan berpengaruh. Bagaimana menciptakan kualitas dan kehandalan dengan tingkat biaya tertentu sehingga produk tetap terjangkau, dengan tetap mempertimbangkan batasan waktu yang tersedia serta time to market. Biasanya untuk menghasilkan solusi yang optimal digunakan Linear Programming dan permodelan matematika.

Theory of Constraint dalam Perjalanan Hidup

Pada kenyataannya, dalam hidup kita pun berlaku banyak batasan-batasan, baik itu yang sifatnya kodrat maupun aturan atau nilai yang disepakati dan diyakini. Batasan pertama bersifat mutlak dan tak terelakkan, misalkan waktu, usia, jenis kelamin, dan keterbatasan fisik. Sementara untuk constraint yang kedua, lebih kepada bagaimana individu atau seseorang itu mempersepsikan aturan ataupun nilai yang ditemuinya. Ada tipe orang yang sangat konservatif dan taat terhadap aturan/nilai yang berlaku. Ada pula tipe orang yang sangat fleksibel dengan aturan yang ada, sering membolak-balikkan aturan, dalam istilah kerennya “bending the rule”. Jangan terburu-buru mengatakan bahwa konservatif dan taat itu baik, sedangkan yang fleksibel dan dinamis itu buruk, ataupun sebaliknya. Pada dasarnya kita terlebih dulu harus melihat konteks dari permasalahan terlebih dahulu.

1. Ketaatan dan kepatuhan diperlukan ketika kita berhadapan dengan aturan, nilai, ataupun hal-hal yang bersifat prinsip, mendasar, dan benar, contoh realnya adalah dalam hal agama dan ibadah. Sudah ada pedoman, aturan, dan nilai yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadist yang tak bisa kita langgar dan kita ubah seenaknya, karena aturan-aturan/constraint tersebut dibuat sendiri langsung oleh Yang Maha Kuasa. Walaupun terkadang kita dibuat bertanya-tanya, kenapa harus begini dan begitu. Tidak boleh begini dan begitu. Semua itu karena keterbatasan akal kita yang belum mampu mencernanya.

2. Fleksibilitas dan Dinamisme diperlukan saat kita berada atau berhadapan dengan sistem serta aturan yang didesain dan dibuat oleh manusia sendiri. Karena pada dasarnya aturan yang dibuat oleh manusia ditujukan untuk perlindungan, kenyamanan, serta pengatiran hak dan kewajiban manusia itu sendiri. Seiring berjalannya waktu lama kelamaan sistem, aturan, dan constraint yang ada sudah tidak relevan dan justru merugikan bagi manusia itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan perbaikan terhadap aturan yang ada agar bisa lebih baik dan berkembang lagi, dalam hal ini dinamis. Namun jangan pula diartikan bisa mengubah-ubah aturan seenaknya, diperlukan pula sebuah prosedur-prosedur tertentu sebagai penjagaan agar aturan bisa tetap berjalan dalam koridornya.

Kembali lagi ke permasalahan awal tentang constraint hidup kita, tentu setiap orang punya constraint-nya masing-masing. Belum tentu apa yang seseorang anggap constraint merupakan constraint juga bagi yang lain. Semuanya tergantung pada situasi dan kondisi.

Kemudian, apa yang menjadi constraint bagi semuanya? Jawabannya adalah WAKTU. Ya, waktulah yang menjadi constraint kita bersama. Kita hidup dalam sebuah dimensi waktu yang tak bisa berjalan mundur. Hampir semua dari kita akan mengalami suatu siklus hidup, mulai dari lahir, tumbuh dan berkembang, dewasa, menua, dan akhirnya mati. Hampir semua sistem mempunyai siklus seperti itu.

Waktulah yang akan menjawab semua pertanyaan kita, seperti apa masa depan kita, dengan siapa kita berjodoh, karir kita, akhir hayat kita, baik atau buruk. Waktu pula yang akan membersamai setiap usaha-usaha mencapai mimpi-mimpi kita, dan sekali kita beristirahat dan bermalas-malasan maka waktu akan segera bilang, “Maaf sobat, aku harus tetap melangkah”.

Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan sebuah SMS dari teman SMA, “Zi, ingat lho amanahmu di keluarga alumni SMA”. Sebuah SMS yang begitu singkat namun cukup membuat saya merasa sangat bersalah. Ya, saya hanyalah manusia biasa tak sempurna yang punya satu tubuh dan satu otak, dan sekali lagi punya constraint. Di antara amanah yang lain (BEM, asisten lab, KKN) memang amanah sebagai ketua alumni bukan menjadi fokus yang utama. Dulu sebenarnya saya pun tidak ingin menjadi ketua alumni. Namun adanya sebuah konspirasi mengerikan dari teman-teman alumni memaksa saya untuk menerima amanah tersebut. Astaghfirullah, tapi amanah tetaplah amanah. Bukan alasan untuk menghindar atau melarikan diri. Semua itu menjadi pengingat betapa sangat terbatasnya kemampuan seorang manusia. Di satu sisi ia bisa menjadi figur yang sangat hebat dan kuat, namun di sisi yang lain ia punya sebuah keterbatasan dan kelemahan.

Jika kita terus melakukan evaluasi, betapa bisa terlihatb bahwa ternyata kita masih sangat lemah dalam menyiasati keterbatasan waktu kita, serta constraint-constraint kita yang lain. Padahal kita saat ini berada dalam fase GROWTH di mana momentum untuk belajar/learning dan melakukan perubahan diri begitu besar. Jangan sampai kita menunggu fase MATURE ketika daya tangkap dan kemapuan belajar dan beradaptasi mulai berkurang sedikit demi sedikit.

Kalau boleh lagi saya gambarkan, maka kehidupan seorang mahasiswa ideal adalah mahasiswa yang mampu memaksimalkan diagram waktu sebagai berikut :

Diagram tersebut akan menjadi ideal ketika kita mampu menyeimbangkan ke-6 elemen yang ada, bukan menariknya ke satu atau dua arah saja. Tiap orang biasanya punya satu elemen yang dominan, tinggal bagaimana mengoptimalkan elemen-elemen yang lain saja.

4 komentar:

  1. "Walaupun terkadang kita dibuat bertanya-tanya, kenapa harus begini dan begitu. Tidak boleh begini dan begitu. Semua itu karena keterbatasan akal kita yang belum mampu mencernanya."

    emang ada perintah agama yang dibuat tanpa manusia tdk diharapkan tau manfaatnya?

    btw, aku ga terlalu setuju ma yang harus seimbang bekerja, belajar,organisasi, lalala.
    Karena menurutku setiap orang punya prioritasnya yg dipilih masing2 buat menjalani hidupnya. Apa setiap orang harus belajar? Apa harus berorganisasi? Yo mesti butuh sih. Tapi porsinya jdi ada yang dominan dan ada yang kecil. Jadi ga harus seimbang, tergantung pilihan orang masing2. gimana? CMIIW

    BalasHapus
  2. Tiap orang biasanya punya satu elemen yang dominan, tinggal bagaimana mengoptimalkan elemen-elemen yang lain saja.

    kayaknya jawaban mas Uzi akan merujuk pada ini deh

    BalasHapus
  3. Gel2 : Semua perintah agama itu ada manfaatnya, cuma terkadang manusia lebih sering mendahulukan rasio. Taatlah dulu dan kau akan menemukan manfaatnya.
    Contoh gampang : - Mengapa jumlah rokaat dzuhur 4, ashar 4, maghrib 3, dst.. apakah bisa dijelaskan dengan akal?
    - kentut kan keluar dari dubur tapi kenapa yang dibasuh muka, tangan, dst (wudhu)?

    Organisasi sama belajar di sini bukan dalam arti sempit Gel,.. Belajar itu bukan hanya dari buku, masyarakat juga termasuk organisasi, manajemen keluarga termasuk organisasi, .. Memang kita punya satu yang dominan, tapi untuk kemampuan yang lain kita juga harus punya dalam tingkatan "cukup/memadai". Muslim itu harus Kaffah/menyeluruh.. Maaf bahasanya aneh, soalnya aku nulis artikelnya terakhir2 gak mood, jadi menimbulkan banyak penafsiran..

    BalasHapus
  4. kayaknya kalau sholat itu untuk mbagi waktu biar lebih sistematis gak sih mas?
    hahaha
    aku sotoy

    ho o ya, kata guru agamaku ya namanya iman percaya pada yang awalnya kayaknya gak mendahulukan rasio, padahal ada
    zzz

    BalasHapus

Comment