Sabtu, 30 Mei 2009

ORANG-ORANG YANG PENUH TANDA TANYA

Alhamdulillah, setelah 3 minggu berkutat dengan deadline tugas-tugas akademis maupun non akademis, akhirnya bisa juga menyempatkan diri untuk menulis walau cuma singkat. Kayaknya badanku tambah kurus, hemoglobin berkurang, gara-gara selama 3 minggu nglembur berangkat ke kampus jam 7 pagi n pulang jam setengah 12 malam. Balik ke asrama cuma numpang tidur kayanya. Tidurnya kaya gak kerasa, baru sejenak memejamkan mata tiba-tiba adzan subuh sudah memanggil. Konsekuensinya, di kuliah kadang harus merem melek kalau dosen membosankan. Astaghfirullah, mendzalimi dosen iki.

Dengan banyaknya deadline, otomatis harus dilakukan penjadwalan ulang.. Dan akhirnya terpaksa kukorbankan kegiatan menulis dan membaca buku. Paling tidak untuk 3 minggu ini. Hmmm.. Walaupun capek n pegel, alhamdulillah tetap bisa menikmati semua deadline itu, sedang on fire. Bisa menghabiskan waktu untuk kegiatan yang bermanfaat adalah kepuasan tersendiri. Setiap ujian dan cobaan pun mulai bisa kunikmati sebagai salah satu proses dalam pembentukan diri. Tapi yang jelas ya gak mau kalau sampai nanti kerja harus nglembur dari jam 7 pagi sampai jam setengah 12 malam. Kasian anak istri dan keluarga.. He2..

Kembali ke judul, belakangan ini aku cukup disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang muncul di layar HP. Kebanyakan dari teman-teman SMA, ada juga sih dari anak-anak BEM’08. Kok bisa orang-orang pada nanya hal-hal kaya gini. Beberapa pertanyaan sederhana tapi mak nyuss. Harus mikir-mikir buat jawab pertanyaan mereka. Gak Cuma lewat HP sih, ada juga yang bertanya langsung pas ketemu. Ngek-ngok, kenapa harus aku yang ditanya, saya bukan ustadz atau psikiater. Beberapa pertanyaan yang muncul antara lain :

1. Apa hukumnya seorang muslim yang hadir ke pernikahan temannya yang non muslim di gereja dan menjadi saksi pernikahan temannya itu di depan pastur.

2. Kenapa sih, Allah menciptakan perbandingan laki-laki dan wanita di dunia ini 1 : 5? Kan kasian yang wanitanya, ada yang gak dapat jodoh. Kalau mau dapat jodoh harus mau dimadu. Kenapa Allah gak menciptakan perbandingannya seimbang?

3. Mas, apa sih artinya hidup kita ini? kenapa kita harus berbuat baik? Kenapa kita harus bertindak demi kepentingan umum/bersama? Apa untungnya bagi kita?

4. Bagaimana caranya menghilangkan kemalasan dalam diri kita? Pada saat kuliah ini saya jadi malas-malasan dan tidak punya tujuan hidup. Cita-cita belum jelas. Kadang-kadang hidup terasa hampa. Cara mengatasinya gimana mas?

5. Bagaimana sikap kita sebagai seorang pemimpin, jika anggota kita kebanyakan orang-orang yang oportunis? Mau ambil keuntungan sendiri? Jadi pemimpin yang baik tu gimana mas?

6. Bagaimana dengan nasib orang-orang pedalaman yang tidak sampai syiar islam kepadanya? Orang-orang seperti itu nanti masuk surga apa neraka ya?

Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan aneh, tapi gak mungkin semua ditulis di sini. Kebanyakan..... Kujawab sebisanya aja.. (maaf kalau jawaban saya kurang memuaskan)..

Intinya saya cukup kagum dengan orang-orang yang bertanya-tanya tersebut. Begitu besar kemauan mereka untuk menemukan jati diri mereka serta kebenaran dengan usaha dan cara mereka sendiri. Selama ini, kebanyakan orang islamnya cuma warisan dari orangtua, jarang yang mau mempelajarinya secara lebih mendalam.

Minggu, 17 Mei 2009

Theory of Constraint

Sudah menjadi sebuah keniscayaan, bahwa sebuah sistem pasti mempunyai batasan-batasan tertentu yang tidak bisa dilanggar dengan bebas. Optimalisasi satu elemen dari sebuah sistem, membutuhkan adanya fokus perhatian. Mau tidak mau beberapa elemen lain harus dikurangi atau dikorbankan. Dapat dikatakan bahwa satu elemen menjadi batasan/constraint bagi elemen yang lain. Dalam dunia industri misalnya, ada 3 elemen utama yang membutuhkan pengelolaan secara bijak agar industri tersebut bisa sukses. Ketiga elemen pokok sekaligus juga constraint tersebut adalah Time (Waktu), Cost (Biaya), dan Quality (Mutu, Kualitas).

Sebagai contoh, jika perusahaan menginginkan produk dengan kehandalan dan mutu tinggi, otomatis faktor ketersediaan biaya dan waktu akan berpengaruh. Bagaimana menciptakan kualitas dan kehandalan dengan tingkat biaya tertentu sehingga produk tetap terjangkau, dengan tetap mempertimbangkan batasan waktu yang tersedia serta time to market. Biasanya untuk menghasilkan solusi yang optimal digunakan Linear Programming dan permodelan matematika.

Theory of Constraint dalam Perjalanan Hidup

Pada kenyataannya, dalam hidup kita pun berlaku banyak batasan-batasan, baik itu yang sifatnya kodrat maupun aturan atau nilai yang disepakati dan diyakini. Batasan pertama bersifat mutlak dan tak terelakkan, misalkan waktu, usia, jenis kelamin, dan keterbatasan fisik. Sementara untuk constraint yang kedua, lebih kepada bagaimana individu atau seseorang itu mempersepsikan aturan ataupun nilai yang ditemuinya. Ada tipe orang yang sangat konservatif dan taat terhadap aturan/nilai yang berlaku. Ada pula tipe orang yang sangat fleksibel dengan aturan yang ada, sering membolak-balikkan aturan, dalam istilah kerennya “bending the rule”. Jangan terburu-buru mengatakan bahwa konservatif dan taat itu baik, sedangkan yang fleksibel dan dinamis itu buruk, ataupun sebaliknya. Pada dasarnya kita terlebih dulu harus melihat konteks dari permasalahan terlebih dahulu.

1. Ketaatan dan kepatuhan diperlukan ketika kita berhadapan dengan aturan, nilai, ataupun hal-hal yang bersifat prinsip, mendasar, dan benar, contoh realnya adalah dalam hal agama dan ibadah. Sudah ada pedoman, aturan, dan nilai yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadist yang tak bisa kita langgar dan kita ubah seenaknya, karena aturan-aturan/constraint tersebut dibuat sendiri langsung oleh Yang Maha Kuasa. Walaupun terkadang kita dibuat bertanya-tanya, kenapa harus begini dan begitu. Tidak boleh begini dan begitu. Semua itu karena keterbatasan akal kita yang belum mampu mencernanya.

2. Fleksibilitas dan Dinamisme diperlukan saat kita berada atau berhadapan dengan sistem serta aturan yang didesain dan dibuat oleh manusia sendiri. Karena pada dasarnya aturan yang dibuat oleh manusia ditujukan untuk perlindungan, kenyamanan, serta pengatiran hak dan kewajiban manusia itu sendiri. Seiring berjalannya waktu lama kelamaan sistem, aturan, dan constraint yang ada sudah tidak relevan dan justru merugikan bagi manusia itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan perbaikan terhadap aturan yang ada agar bisa lebih baik dan berkembang lagi, dalam hal ini dinamis. Namun jangan pula diartikan bisa mengubah-ubah aturan seenaknya, diperlukan pula sebuah prosedur-prosedur tertentu sebagai penjagaan agar aturan bisa tetap berjalan dalam koridornya.

Kembali lagi ke permasalahan awal tentang constraint hidup kita, tentu setiap orang punya constraint-nya masing-masing. Belum tentu apa yang seseorang anggap constraint merupakan constraint juga bagi yang lain. Semuanya tergantung pada situasi dan kondisi.

Kemudian, apa yang menjadi constraint bagi semuanya? Jawabannya adalah WAKTU. Ya, waktulah yang menjadi constraint kita bersama. Kita hidup dalam sebuah dimensi waktu yang tak bisa berjalan mundur. Hampir semua dari kita akan mengalami suatu siklus hidup, mulai dari lahir, tumbuh dan berkembang, dewasa, menua, dan akhirnya mati. Hampir semua sistem mempunyai siklus seperti itu.

Waktulah yang akan menjawab semua pertanyaan kita, seperti apa masa depan kita, dengan siapa kita berjodoh, karir kita, akhir hayat kita, baik atau buruk. Waktu pula yang akan membersamai setiap usaha-usaha mencapai mimpi-mimpi kita, dan sekali kita beristirahat dan bermalas-malasan maka waktu akan segera bilang, “Maaf sobat, aku harus tetap melangkah”.

Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan sebuah SMS dari teman SMA, “Zi, ingat lho amanahmu di keluarga alumni SMA”. Sebuah SMS yang begitu singkat namun cukup membuat saya merasa sangat bersalah. Ya, saya hanyalah manusia biasa tak sempurna yang punya satu tubuh dan satu otak, dan sekali lagi punya constraint. Di antara amanah yang lain (BEM, asisten lab, KKN) memang amanah sebagai ketua alumni bukan menjadi fokus yang utama. Dulu sebenarnya saya pun tidak ingin menjadi ketua alumni. Namun adanya sebuah konspirasi mengerikan dari teman-teman alumni memaksa saya untuk menerima amanah tersebut. Astaghfirullah, tapi amanah tetaplah amanah. Bukan alasan untuk menghindar atau melarikan diri. Semua itu menjadi pengingat betapa sangat terbatasnya kemampuan seorang manusia. Di satu sisi ia bisa menjadi figur yang sangat hebat dan kuat, namun di sisi yang lain ia punya sebuah keterbatasan dan kelemahan.

Jika kita terus melakukan evaluasi, betapa bisa terlihatb bahwa ternyata kita masih sangat lemah dalam menyiasati keterbatasan waktu kita, serta constraint-constraint kita yang lain. Padahal kita saat ini berada dalam fase GROWTH di mana momentum untuk belajar/learning dan melakukan perubahan diri begitu besar. Jangan sampai kita menunggu fase MATURE ketika daya tangkap dan kemapuan belajar dan beradaptasi mulai berkurang sedikit demi sedikit.

Kalau boleh lagi saya gambarkan, maka kehidupan seorang mahasiswa ideal adalah mahasiswa yang mampu memaksimalkan diagram waktu sebagai berikut :

Diagram tersebut akan menjadi ideal ketika kita mampu menyeimbangkan ke-6 elemen yang ada, bukan menariknya ke satu atau dua arah saja. Tiap orang biasanya punya satu elemen yang dominan, tinggal bagaimana mengoptimalkan elemen-elemen yang lain saja.

Jumat, 08 Mei 2009

KECIL

Biarlah.. Biarkan...Biar saja….

Orang meremehkan..

Memicingkan mata..

Terhadap sesuatu yang mereka sebut itu kecil..

Sesuatu yang abai dan sepele..

Tak berharga, tak peduli, remeh, pengganggu saja..

Dengan kebanggaanlah padanya kujawab..

KECIL, dari sanalah BESAR dibangun..

Dalam KECIL itu ada IMPIAN

Dalam KECIL itu ada HARAPAN

Dalam KECIL itu ada KENANGAN

Dalam KECIL itu ada CINTA

Ia begitu bernilai, berharga

Karena ia KECIL, maka ia harus DILINDUNGI...!!

Sabtu, 02 Mei 2009

Sebuah Kisah tentang Potensi Diri

Potensi diri, dua kata yang sarat akan makna bagi setiap orang dan setiap orang berjuang untuk mengetahui dan mendapatkannya. Tidak jarang seseorang melihat pada potensi yang dimiliki orang lain dan begitu terkagum-kagum dibuatnya, sehingga berusaha meniru orang lain untuk bisa mendapatkan potensi yang sama. Pun tak sedikit juga yang akhirnya gagal di tengah jalan dan frustasi dalam mencari “Apa sih yang benar-benar hebat dari diri saya?” Jika sikap frustasi tersebut tidak dikelola dengan baik, yang timbul justru rasa tidak mensyukuri nikmat/kufur berkempanjangan dan menyalahkan Tuhan kenapa dirinya tidak punya kelebihan apa-apa. Kalau boleh saya ibaratkan, potensi diri ibarat tulisan di dahi kita, kita tak akan dapat melihatnya tanpa bercermin di kaca (evaluasi diri dan introspeksi) dan juga bertanya kepada orang lain.

Suatu saat ketika ngaji saya bertemu dengan teman saya, dan kemudian dia bercerita tentang kehidupan salah seorang sahabat nabi. Ceritanya kurang lebih seperti ini :

Pada zaman Rasulullah SAW, hiduplah seorang sahabat yang sangat kaya raya bernama Abdurrahman bin Auf. Sahabat Rasulullah yang satu ini terkenal sebagai saudagar dan entrepreneur ulung jazirah Arab yang gemar bersedekah. Walaupun terus bersedekah, harta Abdurrahman bin Auf seolah-olah tak pernah ada habisnya. Sering ketika umat islam berperang, ia menyumbang sampai ribuan unta atau kuda dengan peralatan dan senjata lengkap. Kalau dinominalkan sekarang berapa ya, mungkin bisa puluhan milyar rupiah. Bukan imbalan harta dunia dari Allah yang beliau cari, tapi beliau ingin termasuk dalam orang-orang yang pertama masuk syurga. Sifat beliau yang tidak cinta “dunia” digambarkan ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Semua harta beliau ditinggalkan di Makkah demi menyusul Rasulullah ke Madinah.

Sesampainya di Madinah ada cerita menakjubkan, sahabat Anshar (orang-orang Islam Madinah) yang terkenal sangat baik bersedia membagi separuh hartanya kepada kaum Muhajirin (Sahabat yang hijrah dari Makkah). Tahukah apa yang dilakukan oleh seorang Abdurrahman bin Auf? Ia dengan santun menolak tawaran sahabat Anshar dan cuma bertanya, “Saudaraku, di manakah letak pasar?” Begitu tahu letak pasar beliau segera bergegas ke sana untuk memulai perniagaan/berdagang. Luar biasanya, dalam waktu singkat ia bisa kembali menjadi orang kaya yang disegani di Madinah. Tak pernah ia meninggalkan kebiasaan lamanya yakni bersedekah.

Pada suatu ketika, di tengah jalan beliau bertemu dengan salah seorang sahabat yang baru saja menghadiri forum dengan Rasulullah. Sahabat yang ditemui Abdurrahman bin Auf ini hidup sangat sederhana, bisa dikatakan miskin namun beliau adalah ahli ibadah. Setelah bertegur sapa dan salam, Abdurrahman bin Auf kemudian bertanya kepada sahabat tadi tentang apa yang didapat dari forum /pertemuan bersama Rasulullah. Dengan sangat antusias sahabat tadi bercerita bahwa kata Rasulullah nantinya di akhirat orang-orang miskin namun ahli ibadah akan lebih dulu masuk syurga dibandingkan dengan orang-orang kaya. Alasannya ialah bahwa orang yang kaya lebih lama hisabnya karena harus dimintai pertanggungjawaban atas semua hartanya, apakah dinafkahkan dan dipergunakan dengan baik dan ditunaikan haknya/zakatnya.

Sesampainya di rumah, Abdurrahman bin Auf bingung bukan main, di satu sisi ia ingin mendapatkan pahala dengan menyedekahkan hartanya, di sisi lain ia ingin nantinya di akhirat bisa lebih cepat masuk syurga bersama Rasulullah. Setelah merenung cukup lama akhirnya beliau memutuskan “AKU INGIN MENJADI ORANG MISKIN”. Dan beliau pun mereka-reka cara agar bisa cepat miskin. Akhirnya didapatkanlah ide yang bisa dikatakan ide gila. Apa itu? Semua hartanya dibelanjakan untuk membeli buah kurma di jazirah arab dengan kualitas yang jelek-jelek, dengan harapan bahwa tak ada lagi warga Arab yang tertipu oleh pedagang yang menjual kurma-kurma jelek. Kemudian kurma-kurma tersebut dibiarkan menumpuk di gudang-gudang beliau yang tersisa. Dan dimulailah kehidupan Abdurrahman bin Auf sebagai OMB (Orang Miskin Baru) .

Allah SWT ternyata mengetahui niatan Abdurrahman bin Auf ini. Seolah-olah tak rela jika Abdurrahman bin Auf meninggalkan kebiasaannya bersedekah dan menjadi donatur utama umat muslim setiap kali berperang, Allah pun memperlihatkan daya kuasanya yang begitu besar. Beberapa minggu setelah Abdurrahman bin Auf menjadi miskin, terjadi fenomena aneh. Coba tebak apa hayo??? Yap, ternyata pohon-pohon kurma di daerah Arab banyak yan g mati dan tidak berbuah lagi. Dalam waktu singkat di arab terjadi krisis kecil-kecilan, yakni KRISIS KURMA..!!

Spontan saja banyak pedagang-pedagang kurma mendatangi rumah Abdurrahman bin Auf untuk membeli kurma beliau yang kualitas jelek dengan harga dua kali bahkan tiga kali lipat. Beliau sangat bingung dengan fenomena tersebut. Kurma di gudangnya dalam sekejap habis. Kekayaanya beliau pun dalam waktu singkat telah kembali dengan jumlah berkali lipat. Luar Biasa....!!!

Akhirnya beliau menyadari bahwa Allah telah memberikan kelebihan potensi berupa pengelolaan harta dan perniagaan yang hebat. Allah menghendaki beliau sebagai orang yang mensupport perjuangan dakwah dari segi finansial. Beliau menyadari bahwa tiap manusia telah diberikan potensi dan jalan ibadahnya masing-masing. Akhirnya beliau pun tetap menjadi saudagar kaya raya yang gemar bersedekah. Bahkan Rasulullah memasukkan beliau ke dalam daftar 10 orang sahabat yang dijamin akan masuk syurga.

Dari cerita di atas betapa kita seharusnya sadar akan potensi yang kita miliki, entah itu menulis, berdagang, olahraga, akademis, dan sebagainya. Kita hanya perlu untuk terus mengasah kemampuan yang sekiranya kita bisa “HEBAT” di situ dan bukan sekedar “BISA”, karena setiap orang punya potensinya masing-masing yang unik. Kita mungkin tak menyadari bahwa pengamen yang kita temui sebenarnya punya bakat sehebat Nidji, atau satpam SKK di kampus bisa bermain bola sehebat Cristiano Ronaldo, atau Tukang Bakso di dekat rumah kita punya bakat Public Speaking dan komunikasi seperti SBY. Orang-orang tersebut hanya belum bisa mengenali potensi dirinya sendiri, dikarenakan kurangnya faktor-faktor sebagai berikut :

1. Usaha dan Kerja Keras untuk melatih potensi unik yang dimiliki.

2. Evaluasi diri, selalu berusaha menjadikan diri lebih baik dari waktu ke waktu. Ingat prinsip Kaizen dari Toyota Way, Kaizen artinya continues improvement / perbaikan terus menerus.

3. Keberuntungan, yang saya maksud “keberuntungan” di sini adalah adanya “kesempatan emas” disertai dengan adanya “kemampuan” untuk menangkap peluang emas tersebut. Itulah orang-orang yang beruntung.

Sekian dulu tulisan saya, tulisan ini juga dibuat oleh orang yang masih terus mengasah potensi-potensi yang dimilikinya. Harap maklum bila banyak kekurangan. Semangat..!!!