Minggu, 12 September 2010

SILATURAHIM

Sebelumnya saya ucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H, taqabbalallahuminnawaminkum, shiyamana wa shiyamakum, taqabbal ya kariim. Mohon maaf atas segala kesalahan selama ini. Semoga amal ibadah kita di bulan ramadhan diterima di sisi Allah SWT dan semoga kita masih diberi kesempatan bertemu ramadahan selanjutnya. Amin ya rabbal ‘alamin.
Lebaran memang momentum yang pas untuk berkumpul kembali bersama keluarga dan saudara tercinta serta menyambung silaturahmi dengan sesama. Dan saya rasa perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah yang paling meriah dan fenomenal dibandingkan dengan negara-negara islam lain. Ada mudik, ada ketupat, opor ayam, takbir keliling, syawalan, sampai silaturahim dari rumah ke rumah. Ada pula fenomena yang masih menjadi keprihatinan bersama seperti kericuhan saat pembagian zakat, banyaknya pengemis yang berjajar meminta belas kasihan jamaah yang baru selesai shalat Ied, serta budaya konsumtif saat lebaran.
Bila dibandingkan dengan lebaran sewaktu saya masih kecil, lebaran jaman sekarang sedikit mengalami pergeseran kultur. Jaman dulu, budaya silaturahim dari rumah ke rumah dalam satu dusun masih sangat kental. Pagi hari selesai sholat Ied sampai maghrib dihabiskan untuk berkunjung ke rumah tetangga di dusun. Memang pegel jalan dari rumah satu ke rumah yang lain, tapi manfaatnya memang terasa, yakni bisa kenal dengan banyak tetangga baik yang tua maupun yang muda. Lain halnya dengan lebaran saat ini dimana masyarakat lebih suka menghabiskan waktu lebaran untuk berlibur bersama keluarga dan saudara. Silaturahim hanya dilakukan ke beberapa tetangga di sekitar rumah.
Memang sebagai anak muda, kemalasan terkadang sangat terasa ketika harus berkunjung ke rumah tetangga. Terlebih lagi kalau tetangga yang dikunjungi adalah orang yang sudah tua. Kalau bareng bapak sama ibu memang enak, soalnya ada yang ngajak ngobrol mereka sehingga kita tinggal diam aja dan “nggah-nggih”. Namun saat kita berkunjung sendiri atau bersama dengan teman sesame remaja, kita harus benar-benar pandai mengarahkan topik pembicaraan agar bisa nyambung dengan obrolan tetangga kita yang sudah sudah tua tersebut. Inilah yang sulit, terlebih lagi kalau di desa harus memakai bahasa jawa halus/kromo kalau bicara dengan orang yang lebih tua. Saat silaturahim bersama muda-mudi, sayalah yang sering jadi korban mewakili teman-teman untuk matur, ngobrol, dan pamit, pada tuan rumah, walau dengan bahasa kromo yang pas-pasan. Agak jengkel juga, karena dari muda-mudi yang lain tidak ada yang mau mencoba. Entah dengan alasan takut gak sopan, takut salah, dsb. Hmm, jaman sekarang wong jowo cen wis ilang jawane. Termasuk saya. Tapi masih mendingan, muda mudi di kampungku masih mempertahankan budaya silaturahim keliling ke rumah tetangga.
Menurut Rasulullah, salah satu tanggung jawab anak terhadap orangtuanya yang meninggal adalah melunasi hutang-hutangnya dan menjaga tali silaturahim yang telah dibangun oleh orangtua kita. Hal yang menjadi kekhawatiran saya, apakah kita nantinya benar-benar bisa mempertahankan tali silaturahim dengan tetangga-tetangga atau saudara jauh kita, pasca orang tua kita meninggal nanti? Selama ini, yang lebih sering berinteraksi dengan tetangga RT maupun tetangga dusun adalah orang tua kita. Tak jarang kita hanya dikenal masyarakat sebagai “anaknya Pak X, atau anaknya Bu Y, atau cucunya mbah W”, bukan nama kita yang disebut. Saat kedua orangtua kita nanti meninggal, boleh jadi kita menjadi orang yang semakin terlupakan di tengah masyarakat. Tentunya kita tak ingin menjadi orang apatis, yang berpikir “ Ah, nantinya aku kan kerja di luar kota dan mungkin bangun rumah di sana, memulai hidup baru dengan tetangga baru, jadi tak terlalu penting memikirkan tetangga-tetangga di sini”, ingatlah pepatah air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga, sejauh-jauh kita pergi merantau suatu saat nanti pasti kita ada saatnya kembali di kampung kelahiran. Dan seumpama kita meninggal nanti, tentunya kita tak ingin hanya saudara-saudara yang mengurusi jenazah kita, namun kita pasti ingin banyak tetangga-tetangga yang mensholatkan, mendoakan, dan mengiringi kita sampai ke liang kubur. Oleh karena itu, mari kita jaga ukhuwah dan silaturahim dengan tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment