Pada saat itu saya membaca Q.S Ash-Shaff , sya tertegun ketika membaca ayat kedua dan ketiga :
Yaa ayyuhalladzina aamanu lima taquuluu maa laa taf’aluun (2) Kabura maqtan ‘indallahi antaquuluu maa laa taf’aluun (3)
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? (2) Amat besar Kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan (3)
Jika dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, mungkin peringatan Allah dalam ayat tersebut memang banyak terjadi. Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh, saya akan mengambil sampel dari diri saya pribadi sebagai seorang pemuda dan mahasiswa.
Kebetulan beberapa hari ini saya aktif menulis, mayoritas tentang problematika dan permasalahan bangsa karena saya sangat prihatin dengan kondisi masyarakat dan bangsa saat ini. Ibaratnya kita mengalami jaman jahiliyyah modern. Saya telah banyak mengeluarkan kritik terkait dengan kinerja birokrasi dan pemerintahan Indonesia saat ini, di mana banyak terjadi penyimpangan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dan penyimpangan tersebut terjadi di berbagai bidang dan tingkatan.
Yang mungkin menjadi renungan dan introspeksi adalah ketika kita memposisikan diri sebagai mereka/pemerintah, apakah kita mampu membuktikan konsistensi dari kata-kata atau tulisan yang kita buat dengan tindakan nyata? Ketika nantinya kita duduk di kursi-kursi pemerintahan, parlemen, ataupun bidang yang lain, apakah kita mampu membuktikan kata-kata kita menjadi tindakan nyata, ataukah kita akan sama saja, bahkan lebih buruk dari kondisi yang ada sekarang. Intinya apakah :
KATA = TINDAKAN?
Setelah dipikir-pikir, ternyata sangat susah menjadi orang yang konsisten/istiqomah antara perkataan dengan perbuatan. Kita sering mengingatkan, mengkritik, dan menasehati orang lain tapi kita sendiri tidak mau berusaha melakukannya. Sebagai contoh, seorang ayah yang menyuruh anaknya yang beranjak dewasa agar rajin sholat padahal sang ayah sendiri sholatnya masih bolong-bolong. Seorang pemimpin yang menyuruh staffnya datang rapat tepat waktu tapi ternyata sang pemimpin sendiri sering telat, dan masih banyak lagi. Intinya tidak adanya keteladanan yang bisa diberikan.
Itulah yang membuat diri saya pribadi terkadang khawatir, apakah nantinya jika benar-benar masuk dalam sebuah sistem pemerintahan saya mampu konsisten antara apa yang diucapkan sekarang dengan apa yang akan saya lakukan kelak. Pilihannya cuma dua, apakah “merubah sistem” ataukah “dirubah oleh sistem” itu sendiri. Dan saya sangat sadar bahwa sistem yang berjalan di Indonesia saat ini sudah bercokol dengan sangat kuatnya sehingga mayoritas yang terjadi adalah kondisi kedua, di mana orang di rubah oleh sistem. Ambil contoh adalah aktivis 1998, yang saat ini duduk di kursi DPR. Ternyata banyak juga dari mereka yang akhirnya terjebak dalam sistem dan menjadi sosok yang berbeda jauh dari mereka sebelumnya. Bahkan beberapa ada yang terlibat korupsi juga.
Ya, semuanya memang tidak semudah yang dibayangkan. Selama ini saya memang mempunyai sifat tidak suka bila ada ketidakmapanan dan penyelewengan terjadi, dan sering melontarkan kritik dan saran. Dan seperti biasa, ketika jiwa muda berbicara maka sedikitnya pasti ada pengaruh emosi di sana. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengelola kritik, saran, dan emosi tersebut agar nantinya juga bisa menjadi pelajaran berharga bagi diri kita dan sebisa mungkin ikut memberikan penyelesaian/solusi terhadap masalah. Bukan justru menjadi masalah baru.
Selama menjadi mahasiswa, banyak sekali pengalaman dan kejadian yang membuat saya cukup miris juga. Mahasiswa sekarang, termasuk anak-anak BEM, organisasi yang saya tempati ternyata banyak yang mengidap virus inkonsistensi ini. Banyak yang berkata ingin menjadi orang besar dan sukses di masa depan, tapi ternyata kebiasaan yang dilakukan sangat tidak mencerminkan calon orang sukses, misal : ingin jadi pemimpin yang disiplin tapi sering telat datang rapat, ingin menciptakan pemerintahan yang bersih tapi ternyata menjaga kebersihan ruang rapat dan lingkungan sekeliling saja tidak bisa terlaksana, ingin menjadi profesional muda tapi dalam kepanitiaan acara tidak bisa bersikap dan bertindak profesional.
Itulah penyakit mahasiswa, yang harus disadari dan dihilangkan kalu benar-benar ingin menjadi penerus pucuk kepemimpinan bangsa ini. Yang bisa dilakukan sekarang adalah memulai dari diri pribadi. Berusaha untuk jadi mahasiswa yang konsisten antara ucapan dengan perbuatan. Yang saya sarankan adalah mari kita gunakan logika orang adzan, di mana mu’adzin mengajak orang lain sholat, namun nantinya mu’adzin juga ikut sholat. Kita menasehati seseorang untuk melakukan sesuatu kebaikan, mengandung konsekuensi bahwa kita juga harus berusaha melakukannya juga dengan usaha maksimal. Wallahu a'lamu bisshowab.
Ya. Saya do'akan.
BalasHapusTapi bisa juga, lho, saran2 yang kita katakan sewaktu muda, setelah sampai di pemerintahan dan lebih berpengalaman, ternyata baru disadari kalau terlalu tidak memungkinkan. Yang penting niatnya tetap dijaga. Dan berusaha sebaik2nya. Aku juga masih banyak yang harus diperbaiki, sih... Grau...
haha. bener juga. Saran yang skarang kita sampaikan dengan mudah dan menggebu2 mengira itu mungkin ternyata setelah kita sadari di pemerintahan bukan sesuatu yang mudah.
BalasHapusIyo sih.. Kalo dipikir-pikir gak mudah juga.. Tapi gak pa2lah... Mumpung masih muda.. Masih ekepresif.. Ha3.. Optimis lah
BalasHapus