Jumat, 30 Januari 2009

Gadjah Mada Menangis

Alkisah, di sebuah negeri yang subur makmur bernama Nusantara, hiduplah seorang pemuda bernama Gadjah Mada. Bagi Gadjah Mada, adalah sebuah kebanggaan bisa lahir di Nusantara. Nusantara adalah salah satu, bahkan mungkin negeri yang terindah di antara negeri-negeri yang indah di dunia ini. Terletak di zamrud khatulistiwa, Nusantara kaya akan berbagai macam flora dan fauna yang elok. Sungai-sungai mengalir bening berkelok-kelok, gunung-gunung menjulang tinggi, danau dan laut membentang bagaikan tanpa batas. Penduduknya hidup dengan tenang, rukun, dan sejahtera. Senyum keceriaan dan keramah-tamahan selalu menghiasi mereka. Sungguh seperti negeri dalam dongeng.

Mendadak bayangan Nusantara yang indah tersebut buyar, lenyap, berganti dengan cahaya redup lampu kamar. Ya, ternyata Gadjah Mada baru saja bermimpi. Mimpi yang sama dengan mimpi-mimpinya yang kemarin. Gadjah Mada tertunduk penuh kekecewaan, seolah tak mau beranjak dari mimpinya. Kehidupan di luar sana begitu jauh dari apa yang dimimpikan oleh Gadjah Mada. Ia begitu takut, takut melihat dunia luar, takut melihat Nusantara yang sebenarnya.

Masih segar dalam ingatan Gadjah Mada, ketika beberapa hari yang lalu si Udin anak tetangganya, mati bunuh diri dengan cara gantung diri. Si Udin bunuh diri karena frustasi tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMP. Udin anak yatim , sejak kecil ditinggal mati oleh ayahnya. Ibunya berjuang menghidupi Udin dan 2 orang kakaknya yang juga tidak bisa meneruskan sekolah. Kadang-kadang mereka terpaksa ikut membantu ibunya dengan bekerja serabutan. Gadjah Mada menangis dalam hati, melihat Udin yang punya keinginan kuat untuk sekolah, namun impiannya harus terampas oleh mahalnya biaya pendidikan. Udin yang seharusnya menikmati masa anak-anak dipaksa untuk menghadapai dunia kerja yang keras. Tekanan mental itulah yang membuat Udin gelap mata mengakhiri hidupnya. Gadjah Mada bertanya-tanya, apakah benar keadilan sudah ditegakkan? Apakah benar di Nusantara ini setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak? Di manakah kau keadilan? Dimanakah kau Undang-undang? Dimanakah kau pemerintah?

Tak sekedar itu saja yang mengganggu pikiran Gadjah Mada. Di sepanjang kehidupannya, banyak peristiwa yang membuatnya begitu miris, prihatin, dan sedih.

  • · Kemiskinan dan kelaparan di mana-mana, sangat ironis mengingat Nusantara adalah negeri yang sangat kaya akan hasil ayam dan sumber daya. Tetapi rakyatnya masih saja miskin papa. Bisa diibaratkan tikus mati di lumbung padi.
  • · Pengangguran di sana-sini, begitu banyak pemuda seusia Gadjah Mada yang kebingungan mencari pekerjaan yang layak. Ijazah yang susah payah mereka dapatkan ternyata tak berguna banyak.
  • · Perpecahan daerah di mana-mana, banyak daerah yang ingin melepaskan diri dari Nusantara dan mendirikan negara sendiri karena merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dan penguasa.
  • · Seiring kemiskinan dan pengangguran yang meningkat, angka kriminalitas dan kemaksiatan pun meningkat. Tuntutan ekonomi membuat sebagian orang menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan rupiah, walaupun harus merampok, menipu, korupsi, jual diri, berjudi, dan membuka tempat-tempat maksiat.
  • · Moral penduduk yang semakin merosot, ditandai dengan pergaulan remaja yang semakin bebas, mengabaikan norma-norma agama dan kesusilaan. Banyak remaja hamil di luar nikah, aborsi di mana-mana, perselingkuhan, perzinaan, tawuran, dan hal-hal keji lainnya.
  • · Harga-harga kebutuhan pokok yang semakin melambung. Jauh melebihi daya beli masyarakat saat ini. Bahkan untuk beberapa kebutuhan harus impor dari negara lain.
  • · Pendidikan yang mahal dan tidak terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah, kontradiktif dengan undang-undang yang menyatakan bahwa “pendidikan adalah hak setiap warga negara” dan “pendidikan adalah tanggung jawab negara”.
  • · Kerusakan lingkungan yang luar biasa dahsyatnya, banjir di mana-mana, hutan-hutan dibabat habis oleh penebang liar, sungai-sungai yang tadinya bening berubah menjadi hitam dan penuh sampah, tanah longsor, pemanasan global, gunung-gunung sampah menjulang di kota-kota besar.

Sebuah pemandangan yang sangat mengerikan bagi Gadjah Mada, semuanya kelihatan begitu gelap, bagaimana mungkin negeri impiannya yang sangat indah bisa menjadi seperti ini. Inikah yang disebut dengan neraka dunia? Siapakah yang harus bertanggung jawab?

Daripada sekedar menangisi nasib, Gadjah Mada pun memulai pengembaraannya, mencari siapakah orang yang bisa mengembalikan Nusantara menjadi negeri indah seperti sedia kala, siapakah yang mampu membuat orang-orang di negeri Nusantara bisa tersenyum kembali.

Gadjah Mada dan Wakil Rakyat

Gadjah mada memulai perjalanannya ke Gedung Wakil Rakyat, sebuah gedung yang megah di mana di situ duduk wakil-wakil rakyat “katanya” bersidang dan menentukan kebijakan untuk rakyat. Gadjah Mada berpikir barangkali wakil-wakil rakyat inilah orang yang bisa mengembalikan Nusantara seperti semula. “Secara jabatan, memang mereka adalah pembuat kebijakan, jadi dengan membuat kebijakan baru yang berpihak pada rakyat pasti negeri ini bisa berubah”, pikirnya.

Gadjah Mada ternyata KECELIK, SALAH BESAR ..! Wakil-wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen ternyata bukan sosok-sosok bijak seperti yang ia bayangkan. Gadjah mada membaca headline surat kabar ibukota hari itu bahwa salah seorang anggota parlemen ditangkap karena kasus penyuapan yang nilainya miliaran rupiah. Di halaman lain ia juga menemukan berita skandal salah satu anggota parlemen dengan salah satu artis dangdut ibukota. Astaghfirullah, mengapa wakil-wakil rakyat seperti ini ya Allah… Gadjah Mada bergumam dalam hati. Gadjah Mada pun melakukan observasi langsung ke gedung parlemen, di sana bukan pembahasan ke arah yang lebih baik yang dia temukan, tapi justru debat kusir anggota parlemen yang membawa misi parpol masing-masing. Beberapa di antaranya bahkan tertidur saat sidang. Sungguh tak bisa dimaafkan, sudah diberi amanah oleh rakyat ternyata kinerjanya seperti itu?

Beberapa waktu yang lalu, teman-teman Gadjah Mada dari “Kampus Kuning” juga merasakan kekecewaan yang sama dengan Gadjah mada. Mereka diusir dengan paksa oleh aparat ketika anggota parlemen mengesahkan UU BHP yang akan membuat pemerintah semakin leluasa melalaikan kewajibannya dalam menyediakan jaminan pendidikan murah bagi rakyat. Dengan disahkannya RUU tersebut semakin jelas ketidakberpihakan anggota parlemen terhadap nasib rakyat. Yang mereka suarakan bukan suara rakyat, melainkan suara pribadi dan golongan.

Gadjah Mada dan Presiden

Gadjah Mada sudah muak, ia pun pergi mencari orang lain yang bisa membantunya. Ia bertekad pergi ke rumah presiden untuk mengadukan nasib Nusantara saat ini. Ya ya ya, presiden adalah pemimpin tertinggi negeri ini, jika presiden mampu menerapkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat so pasti negeri ini sebentar lagi bisa bangkit. Gadjah Mada pun bergegas menuju Istana Negara.

Di depan istana kepresidenan ia sudah dihadang oleh pasukan penjaga presiden, dan tidak diijinkan masuk menemui presiden. Presiden sedang menemui DuBes Amerika dan Negara-negara Uni Eropa. Gadjah Mada pun diusir dari istana. Gadjah Mada tidak patah arang, ia mencoba pergi ke rumah wakil presiden.. Hasilnya juga sama. Ia diusir bahkan dipukuli penjaga.. Oh, sebegitu eksklusifkah seorang presiden dan wakil presiden sehingga aku yang rakyat jelata ini tak boleh menemuinya? Apakah hanya orang-orang besar saja yang boleh menemui mereka? Apakah mereka hanya akan turun ke bawah jika ada bencana besar? Apakah kesungguhan mereka hanya ditampakkan ketika mereka akan mencalonkan diri kembali? Ah sudahlah, mungkin hati dan perasaan mereka sudah mengeras bagai batu sehingga tidak peka lagi terhadap tangisan rakyat.

Gadjah Mada dan Pak Polisi

Gadjah Mada memeras otak lagi.. Beberapa saat kemudian tercetus pemikiran bahwa Nusantara bisa rusak seperti sekarang ini karena orang-orangnya banyak yang berbuat maksiat dan kriminal. Untuk itu orang-orang tersebut harus disingkirkan, dan satu-satunya pihak yang bisa diharapkan adalaha Polisi. Ya, polisi adalah pelayan masyarakat dan pembasmi kejahatan. Pak polisi pasti bisa mengembalikan negeri ini menjadi normal, ujar Gadjah Mada dengan optimis. Ya, polisi negeri ini terkenal reputasinya dalam melacak kasus-kasus kriminal. Mulai kasus penipuan hingga mutilasi dan pembunuhan berantai.

Tak berlama-lama Gadjah Mada pergi ke kantor polisi terdekat. Baru beberapa langkah dari parikiran ada suara polisi setengah baya menyapa :

Polisi : Dek, mau cari SIM ya?

Gadjah Mada : Oh, maaf pak saya sudah punya SIM.

Polisi : Oh Gitu, ya sudah, kalo ada temannya yang mau bikin SIM suruh lewat saya aja, cukup 200ribu gak usah pakai tes segala langsung jadi.

Gadjah Mada terpaku, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Peduli amat, mungkin itu hanya salah satu oknum saja, katanya dalam hati. Ia pun meneruskan langkah mencari ruang kapolda. Ketika sampai Gadjah Mada disuruh menunggu di ruang tunggu. Di sana ada akpol yang masih muda. Ia kemudian berkenalan. Dari sang akpol Gadjah Mada mendapatkan cerita yang cukup banyak tentang seluk beluk kepolisian. Dari sang akpol Gadjah mada jadi tau bahwa ternyata masuk ke akademi kepolisian lebih ditentukan oleh “money”, bukan oleh skill dan kemapuan. Sang akpol pun bercerita bahwa ia dulu bisa masuk akpol karena dibantu oleh sang Kapolda yang merupakan sahabat ayahnya.

Gadjah mada hanya bisa geleng-geleng kepala. TAK JADI.. AKU TAK JADI MINTA TOLONG KE POLISI.. katanya.. iapun bergegas meninggalkan kantor polisi. Harapannya kepada para polisi seperti sudah tertutup. Polisi Nusantara memang hebat, hebat dalam menangkap penjahat-penjahat kecil.. Tetapi tidak cukup hebat untuk menangkap penjahat-penjahat sebenarnya yang menggelapkan uang negara. Mereka seperti tanpa daya di hadapan lembar-lembar rupiah.

Gadjah Mada dan Pak Hakim

Beberapa kilo dari kantor Polisi, Gadjah Mada melintasi depan Kantor Kehakiman, Gadjah Mada berhenti sejenak, kemudian memutuskan untuk masuk. Ia berpikir mungkin pak hakim bisa membantu dalam menghakimi para koruptor dan pelaku kriminal yang merusak bangsa ini. “Ya ya ya, jika pak polisi tidak bisa mungkin pak hakim bisa”.

Gadjah Mada harus menelan ludah lagi karena kecewa, di kehakiman ia disuruh kesana kemari dan dilempar-lempar oleh birokrasi yang sangat panjang. Yang lebih membuat jengkel adalah sikap para Hakim yang cenderung pasrah dan apatis. “ Kita tak punya bukti apa-apa dek, jadi kita tak bisa berbuat apa-apa”.. Halah.. Alasan yang klise..

Gadjah Mada pun cukup kaget ketika ternyata di kantor kehakiman ia bertemu dengan tetangga desa yang sedang tes menjadi pegawai kehakiman. Ternyata ia harus merogoh kocek ratusan juta sebagai prasyarat pendaftaran… Astaghfirullah.. Ternyata kepolisian dan kehakiman sama saja.

Gadjah Mada dan Pak Kyai

Siang itu Gadjah mada sholat dzuhur di sebuah masjid, tak banyak yang sholat berjamaah di sana. Selesai sholat ia membaca pengumuman bahwa nanti malam akan ada pengajian akbar di masjid itu oleh seorang Kyai yang terkenal. Hmm.. pasti nanti yang datang banyak, dan aku bisa bertanya pada pak Kyai tentang permasalahan bangsa ini. Ya, pak kyai mungkin punya solusi dalam memecahkan masalah degradasi moral yang melanda bangsa ini, terutama kaum mudanya, begitu pikir Gadjah Mada. Ya, dengan belajar agama tentu akhlaq bangsa ini bisa menjadi mulia dan kehidupan akan membaik.

Malam pun tiba, jamaah pengajian berdatangan. Gadjah Mada kebingungan, karena yang hadir dalam jamaah itu semuanya adalah orang-orang tua semuanya. Hanya dia sendirian pemuda di situ. Mana pemudanya? Kok gak ada sama sekali? Gadjah Mada lantas bertanya pada salah seorang bapak yang ikut pengajian.

Gadjah Mada : Pak, di mana pemuda-pemudinya, kok gak ada yang ikut pengajian?

Bapak-bapak : Oh, iya nak, pemuda-pemudi sini banyak yang gak ikut ngaji, mereka memilih untuk pergi nonton band di kampung sebelah. Kebetulan yang hadir band ngetop ibukota. Yah, begitulah anak muda jaman sekarang.

Gadjah Mada : Astaghfirullah.. (pukul2 kepala).. jaman emang sudah edan.. inilah mungkin yang ditakutkan Rasulullah, bahwa suatu saat nanti umatnya akan didera penyakit wahn, yakni penyakit cinta dunia dan takut mati. Menurut Rasulullah, suatu saat orang-orang islam banyak/menang dalam kuantitas, tapi laksana buih di lautan yang mudah terombang-ambing dan pecah oleh gelombang. A’udzubillah min dzalik..

Bagaimana mungkin bisa mengubah moral dan akhlaq pemudanya, kalo minat pemuda untuk belajar agama sangat minim, bahkan minus. Ngaji saja tidak pernah.. bagaimana kalau orang-orang seperti itu nantinya yang akan menduduki pucuk-pucuk pimpinan negeri ini? Gadjah Mada tak sanggup membayangkan. Setelah pengajian ia bergegas pulang. Pusing.. Pusing..

Gadjah Mada dan Semangat Pemuda

Sampai di rumah, Gadjah Mada masih berpikir, siapa lagi yang bisa ia mintai tolong? Anggota parlemen, presiden, polisi, kyai, hakim? Semuanya tak bisa berbuat apa-apa.. Tak mau berpusing-pusing Gadjah Mada memutuskan untuk tidur. Sebelum tidur Gadjah Mada menyempatkan untuk mencuci muka dulu.

Saat mencuci muka itulah, Gadjah Mada terhenyak.. Di bak kamar mandi, terpantul wajahnya samar-samar. Lama diamatinya pantulan raut wajah di air bak mandi itu. Gadjah Mada bertanya dalam hati, adakah di belahan bumi Nusantara ini pemuda-pemuda yang punya pemikiran seperti dirinya? Adakah barisan-barisan pemuda yang merindukan kembalinya Nusantara seperti sedia kala? Adakah anak-anak muda yang rela mengorbankan masa mudanya untuk memikirkan masa depan negeri ini? Adakah di negeri ini lahir kembali Soekarno, Hatta, Muhammad Natsir, atau Ki Hadjar Dewantoro yang baru?

Tak cukup satu orang Gadjah Mada untuk bisa mengubah negeri ini. Harus ada Gadjah Mada-Gadjah mada yang lain yang berpikir, bergerak, dan bekerja bersama-sama membangun negeri ini. Negeri ini sudah rusak secara sistem, rusak dalam segala ranah kehidupan. Tak cukup satu orang pemimpin hebat di pusat, tanpa adanya pemimpin kuat di daerah dan di berbagai bidang.

  • Butuh Presiden berjiwa Gadjah Mada untuk memimpin negeri ini dan berani bersuara di tataran internasional..
  • Butuh Anggota parlemen seperti Gadjah Mada untuk menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat..
  • Butuh Polisi bermental Gadjah Mada untuk bisa memberantas kejahatan dan kemaksiatan di negeri ini..
  • Butuh hakim adil berwatak Gadjah Mada agar bisa mengadili koruptor-koruptor kelas kakap yang melarikan triliunan uang negara.
  • Butuh Gadjah Mada berakhlaq kyai untuk bisa sedikit demi sedikit merubah akhlaq bangsa ini..
  • Butuh Gadjah Mada yang ilmuwan untuk bisa menemukan teknologi baru yang bisa bersaing dengan negara lain..
  • Butuh Gadjah Mada yang entrepreneur agar mampu membuka lapangan pekerjaan serta menanamkan pola pikir kreatif dan mandiri dalam ekonomi..
  • Butuh Gadjah mada yang Gubernur dan Bupati untuk mensejahterakan dan memberdayakan potensi daerah masing-masing..

Untuk itu, Gadjah Mada bertekad, mengajak seluruh kalangan mahasiswa dan pemuda untuk bersama-sama membangun Nusantara tercinta ini. Tidak perlu muluk-muluk, mulai dengan 3 M :

Mulai dari diri sendiri..

Mulai dari hal yang kecil..

Mulai saat ini juga…

Kesuksesan suatu bangsa adalah akumulasi dari kesuksesan individu, mari bersama-sama introspeksi dan memperbaiki diri menjadi pribadi berkualitas, berakhlaq mulia, dan bermanfaat bagi sesama.

Jika Sukarno mengatakan “ BERIKAN AKU 10 PEMUDA, MAKA AKAN AKU TAKLUKKAN DUNIA..!

UGM PUNYA RIBUAN PEMUDA,.. APA YANG AKAN KALIAN TAKLUKKAN…?

13 komentar:

  1. Si Gajah Mada itu dari tadi 'cuma' introspeksi dan bertanya-tanya. Apa yang dia lakukan selanjutnya?

    Saia kurang suka dengan tulisan anda yang (seolah) memukul rata semua anggota suatu lembaga hanya karena sebagian oknumnya.
    Tidak semua wakil rakyat seperti itu.
    Pasti presiden punya urusan lain yang lebih penting. Mungkin untuk menjaga keamanan presiden. (Jadi inget, dulu temenku pernah ngirim surat ke Pak SBY untuk minta bantuan untuk mengikuti kegiatan sekolah, dan bener2 dibantu!)
    Tidak semua polisi seperti itu.
    Tidak semua hakim seperti itu.
    Tapi kenapa pas si Gajah Mada bertemu kyai, yang dia temui kyai 'beneran'? Padahal 'kan ada juga kyai (gadungan) yang beraliran sesat dan menyalahgunakan ayat-ayat Allah.

    Saia tahu maksud anda. Tapi memang tulisan di atas benar2 seolah2 memukul rata suatu profesi.

    BalasHapus
  2. Setuju dengan rizka, yang saya akan tulis sudah ditulisnya, harusnya
    Gadjah Mada dan OKNUM Wakil Rakyat
    Gadjah Mada dan OKNUM Presiden
    Gajah Mada dan OKNUM Pak hakim
    Gadjah Mada dan OKNUM Pak Polisi
    Gadjah Mada dan OKNUM Pak Kyai
    Kenapa OKNUM? karena tidak semua orang dalam lingkup profesi yang ada ceriterakan seperti itu, menurutku picik juga kalau memandang sesuatu dari perspektif yang buram saja. terlalu frontal.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Btw, komenya saya edit. Hehe.
    Setuju apa kata sim2.
    Dulu temen kita pernah kirim surat ke SBY, dan dibantu.
    Dan sekarang nembak SIM udah susah bgt kali.. Jangan hanya melihat sebagian.

    Ohya,Anda menulis seolah2 ga ada sedikitpun pandangan positif pada negri ini. Menyalah2kan negri ini. Seolah2 sudah salah total. Saya tidak terlalu suka.

    Trus "adakah anak-anak muda yang rela mengorbankan masa mudanya untuk memikirkan masa depan negeri ini?" Masa muda seperti apa yang seharusnya yang anda maksud?
    Klo Saya si ga mau mengorbankan masa muda saya.. Hehe.. Itu salah satu sekolah hidup bagi saya.

    Btw, keep on writing, saya juga lagi belajar menulis, apresiasi dan berpendapat.

    BalasHapus
  5. Hahaha.. kok pada ngeri komennya.. Saya kan gak bilang semua pihaknya.. di cerita itu kan emang ketemu beberapa orang aja... Indonesia sudah rusak secara sistem.. dalam sistem itu ada orang baik..tapi terkjebak dalam sistem yang rusak tersebut..
    maksud tulisan saya tersebut adalah bagaimana peran kita sebagai pemuda yang akan masuk ke dalam sistem tersebut agar lebih mempersiapkan diri..

    BalasHapus
  6. Kita tak bisa terus menerus berharap pada orang-orang yang sudah mapan di sana, tapi berusahalah menjadi agen perubahan itu sendiri mulai dari sekarang.
    Ria : Masa muda maksudnya waktu mudanya, kadang kita tak bisa terus belajar dengan pengalaman pribadi sendiri.. Kita juga harus menghabiskan waktu dengan buku, dengan berdiskusi, dengan terjun membantu masyarakat secara langsung.. dan itu tentu akan mengurangi waktu kita untuk bermain

    BalasHapus
  7. Sim-sim & Gupi : Ya, tidak semua oknum kaya gitu, bukan maksudku juga untuk pukul rata..tapi yang kamu lihat baik adalah sebagian kecil dari puncak sebuah gunung es.. Selama perjalanan hidupku aku sudah mendengar baik dari "golongan putih" maupun dari yang "golongan gelap".. Justru dari golongan hitam itulah aku jadi tau seluk beluk birokrasi di Indonesia yang sebenarnya...

    BalasHapus
  8. Solusi : Tak ada solusi yang lebih realistis daripada mempersiapkan diri kita sendiri untuk mengisi pos2 penting di setiap bidang.. kita adalah 4 % pemuda Indonesia yang beuntung bisa kuliah.. dan Indonesia meletakkan harapan pada pundak kita.. So, banyak belajar dan berdiskusi agar menjadi pemuda yang berkualitas, baik IQ, EQ, dan yang tak kalah panting SQ.

    BalasHapus
  9. Oh, masa muda yang dimaksud masa bermain to.
    Kenapa masa muda diidentikkan dengan bermain?
    Soalnya agenda membaca, berdikusi memang saya masukkan dalam agenda masa muda saya. (wakaka)

    Dan orang tua pun juga banyak yang ga terjun ke masyarakat. Jadi ga harus ngungkit2 masa muda.

    mengorbankan masa muda --> lebay ra si?
    hehe. Ngeyel ki mas.

    BalasHapus
  10. Btw, nulis susah juga ya.. Pengen menekankan pada posisi sebagai pemuda dan mahasiswa malah dikira terlalu kritis pada birokrasi.. He3

    BalasHapus
  11. Mas Fauzi sendiri juga melihat sebagian puncak dari gunung es. Apakah memang yang bathil lebih banyak dari yang baik?
    Terlalu sedikit variabel yang anda gunakan klo mau menyimpulkan hal2 seperti itu. Sangat 1 sisi dan kemudian mewakili. Ujung2nya mengesankan Indonesia rusak dan salah. Deskripsi yang terlalu singkat dan tidak adil. Menurut saya.

    Intinya pemuda harus mempersiapkan diri dan berubah?
    Dengan belajar dan berdiskusi?
    Hmmmmm.....

    BalasHapus
  12. Juga tidak bijak Gel, ketika kita mengatakan bahwa Indonesia "baik-baik saja dan tak ada yang per;u dikhawatirkan". Cobalah kembali ke standar baik dan buruk itu sendiri, yaitu apa yang diturunkan Allah lewat Al-Qur'an dan sunnah Rasul. Dari situ sudah bisa disimpulkan apakah Indonesia masih sehat atau "sakit"

    BalasHapus
  13. Hehe.. aku juga tau Indonesia tidak baik2 saja.
    Cuma ada sedikit miris aja ketika negriku yg lemah ini, dengan segala keterbatasannya, dikritik dan disalah2in tanpa celah.
    (aku jg tau kritik itu perlu)
    gitulah. Bingung nulisnya.

    BalasHapus

Comment